Bayangkan situasi dan keadaan kota Jakarta di tahun 2014. Saat itu proyek transportasi makro sudah rampung(selesai). Kota ini punya busway, monorel, subway, bahkan transportasi air. Para pekerja yang tinggal di daerang pinggiran tak perlu takut telat masuk kantor karena sistem trasnportasi publik sudah berjalan dengan baik. Bayangkan saja jika di sebuah stasiun interchange di Dukuh Atas, Jakarta Pusat, orang-orang keluar dari terowongan stasiun subway lalu pindah ke stasiun monorel dan halte busway menuju kantor. Bayangkan.
Cukup lah sudah mengandaikan Jakarta di masa depan. Sekarang lihatlah Jakarta yang sesungguhnya. Tidak ada ruas jalan yang bebas dari macet. Sementara itu jumlah kendaraan bermotor terus bertambah setiap tahun. Diperkirakan, pada tahun 2014, jumlah kendaraan pribadi sudah sedemikian membludak sampai semua jalanan di kota ini macet semacet-macetnya. Arus lalu lintas mentok. Begitu keluar dari rumah, kita langsung terjebak macet.
Mungkin terdengar berlebihan. Tetapi asumsi ini jelas bukan tanpa dasar. Saat ini jumlah kendaraan di Jakarta mencapai lebih dari enam juta unit. Belum kendaraan dari wilayah Bodetabek dan kendaraan yang dibawa para perantau dari kampong halamannya. Tiap tahun, kenaikan jumlah kendaraan bermotor mencapai 11%, sementara penambahan panjang jalan tak lebih dari 1%.
Untuk mencegah macet total itu, tidak ada pilihan lain. Jakarta harus segera punya system trasportasi public yang bisa mengangkut penumpang secara missal dalam tempo cepat. Para insinyur menyebutnya mass rapid transit (MRT). Di atas kertas, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pun sudah merancang pembangunan sarana transportasi publik kategori MRT ini. Bang Yos, panggilan akrab Gubernur Sutiyoso, memperkenalkannya sebagai Pola Transportasi Makro (PTM). Sarana Transportasi yang direncanakan lewat proyek PTM ini meliputi busway, monorel, subway, dan transportasi air.
Dari empat jenis transportasi yang direncanakan itu, baru proyek busway yang sudah direalisasikan. Itu pun baru sekitar separuh dari keseluruhan rute yang direncanakan. Hingga Mei 2007, proyek monorel baru sampai pada pembangunan tiang di beberapa titik.
Dari empat jenis angkutan public yang direncanakan di PTM, busway merupakan pilihan yang biayanya palig murah dan paling mudah direalisasikan. Sebagai gambaran, biaya pembangunan busway sekitar AS $ 2 Juta – 5 Juta per km. Sementara monorel membutuhkan investasi lima kali lipatnya, alias sekitar AS $ 10 Juta – 25 Juta per km. Subway bisa menelan biaya AS $ 50 Juta – 150 Juta per km, tergantung pada kondisi tanah. Dengan kata lain, tiap kilometer subway membutuhkan biaya yang setara dengan pembangunan 25 km busway. Karena alas an itulah, Pemprov DKI Jakarta memprioritaskan pembangunan busway daripada ketiga jenis moda transportasi lainnya.
Setelah busway, monorel merupakan prioritas kedua yang akan direalisasikan lebih dulu. Pembangunan monorel sebetulnya sudah dimulai sejak Juni 2004. Saat itu, transportasi ini siap beroperasi tahun 2007. Namun, karena terbentur oleh kendala financial, hingga sekarang pembangunannya baru sampai pembuatan tiang. Monorel ini mirip kereta biasa. Bedanya, relnya Cuma satu dengan ukuran yang besar dan lebar sehingga gerbong monorel bisa bertumpu di atasnya. Lintasan relnya melayang di atas jalan raya dengan tiang-tiang penyangga yang tingginya sekitar 12 m. tiap kilometer terdapat stasiun pemberhentian.
Menurut Parsetyo, yang paling ideal untuk mengatasi masalah transportasi sebetulnya adalah MRT (subway). Dibandingkan dengan yang lain, jenis transportasi ini bisa mengangkut penumpang dalam jumlah paling besar dalam tempo paling cepat. Sebagai perbandingan jumlah penumpang yang visa diangkut busway sekitar 10.000 – 15.000 orang per jam. Monorel, yang tergolong light rapid transit (LRT), bisa mengangkut 20.000 penumpang per jam. Sedangkan subway bisa mengangkut sekitar 30.000 penumpang per jam. Masalahnya, pembangunan subway membutuhkan biaya yang sangat mahal dan waktu yang cukup lama, sekitar 4 – 5 tahun. Istilah subway, kata Prasetyo, sebetulnya kurang tepat untuk proyek PTM yang direncanakan Pemprov DKI Jakarta. Soalnya, istilah ini lazimnya hanya digunakan untuk kereta yang jalurnya berada di bawah tanah. Sementara subway yang direncanakan, lebih dari separuhnya mengambil lintasan di atas tanah. Karena itu, Prasetyo lebih suka menyebut MRT daripada subway. Istilah MRT lebih umum karena bisa digunakan untuk kereta yang lintasannya berada di atas permukaan tanah maupun di dalam tanah.
Di luar urusan teknologi, Prasetyo menegaskan bahwa factor sosial budaya, bahkan politik, merupakan unsure penting dalam menangani masalah transportasi di Jakarta. Itu sebabnya program PMT harus disertai dengan kajian sosial, diskusi, kampanye public, dan penyuluhan untuk mengubah perilaku masyarakat. Factor ini sama sekali tidak boleh ditinggalkan. Bila perlu, dilakukan “pemaksaan”. Prasetyo member contoh pengalaman Negara Singapura. Negara ini sangat ketat menerapkan aturan bagi warga negaranya. Di sana jumlah kendaraan pribadi dibatasi dengan menggunakan kuota. Supaya jumlahnya terkontrol, pemerintah menerapkan system Certificate of Entitlement (COE). Hanya mereka yang punya COE yang bisa memiliki mobil. Berapapun uang yang dimiliki, seorang konglomerat sekalipun tidak bisa membeli mobil jika ia tidak punya COE ini sepuluh tahun. Setelah itu dilelang untuk umum. Dengan pengontrolan yang sangat ketat ini, jumlah mobil di sana selalu sama dengan jumlah COE yang dikeluarkan pemerintah. Selain membatasi jumlah kendaraan pribadi, Singapura juga menerapkan system electronic road pricing. Saat mobil masuk ke dalam kota, pengendara harus membayar. Tarifnya sengaja dibuat tinggi supaya pengendara dibuat berpikir beberapa kali kalau hendak masuk ke dalam kota dengan menggunakan mobil pribadi.
Bentuk nonfiskal misalnya membatasi jumlah kendaraan dengan aturan three in one, system nomor plat ganjil-genap, atau sengaja tidak menambah luas jalan raya agar pengendara mobil pribadi lebih suka menggunakan angkutan umum. Pemaksaan ini diperlukan karena memang secara alamiah, pengguna mobil pribadi tidak terlalu mudah untuk pindah ke angkutan umum. Supaya efektif, tentu saja pemaksaan itu harus dibarengi dengan peningkatan mutu layanan angkutan public. Sesuai sifat alamiah manusia, mereka bersedia berubah jika diberi pilihan yang lebih bagus. Kalau angkutan publiknya bisa diandalkan, mereka tentu bersedia meniggalkan mobil pribadi.
Di mana pun, transportasi public seharusnya menjadi tanggungan Negara. Proyek transportasi makro di Jakarta, apa pun namanya, harus terus dilanjutkan oleh siapa saja yang bakal memegang kendali pemerintahan di DKI Jakarta. Jika tidak, maka diprediksi Jakarta bakal mandek alias berhenti total di tahun 2014 bisa benar-benar menjadi kenyataan. Pada masa itu, Jakarta mentok sementok-mentoknya. Begitu keluar dari pagar rumah, kita langsung terjebak kemacetan. Bayangkan saja!
Nama : Michael Amiarsa
NPM : 14110381
Kelas : 1KA31
Sumber : Intisari , Juni 2007 hal 130
Penulis : M. Sholekhudin