Fenomena kelelahan fisik dan mental
sebetulnya bukan hal baru dalam dunia sepak bola. Tekanan yang demikian
kuat dalam bisnis sepak bola memang sulit dibendung. Tokoh-tokoh ternama
seperti Oliver Kahn dan Ottmar Hitzfeld juga pernah merasakan hal itu.
Hitzfeld butuh waktu
setahun untuk kembali normal setelah merasa tidak punya engergi dan
ambisi seusai menjuarai Liga Champion 2000-01, juga tidak bisa merasakan
kegembiraan semestinya ketika timnya meraih double winners pada 2002-3. Sementara Kahn merasakan kelelahan dan stress pada 1999.
Tokoh lain yang mengalami hal serupa adalah Sebastian Deisler dan Robert Enke.
Deisler memilih pensiun muda dan tetap hidup, sementara Enke memilih
jalan lebih tragis dengan mengakhiri hidupnya. Deisler (kiper Hannover)
melemparkan dirinya ke lintasan kereta api cepat pada 10 November 2009.
Kasus bunuh diri Enke menjadi titik balik yang mengubah pandangan dunia terhadap burnout syndrome.
Jika sebelumnya tekanan mental dipandang sebagai aib dan tabu
dibicarakan, setelah itu orang-orang menjadi lebih terbuka
membicarakannya.
Gejala burnout syndrome sebenarnya bisa melanda siapapun. Namun menurut Marion Sulprizio
golongan yang paling rawan terkena hal tersebut adalah orang-orang yang
punya ambisi tinggi, perfeksionis, dan selalu kritis pada dirinya
sendiri. Apalagi saat mereka menghadapi tekanan besar dan kenyataan
tidak sesuai dengan harapan.
"Bornout adalah
hasil komitment yang berlebihan. Profesi kadang dipandang sebagai
satu-satunya tujuan hidup. Ini lantas menggoyang keseimbangan jiwa dan
memunculkan keletihan," tulis Kahn dalam biografinya. Pengakuan Kahn
sesuai dengan penjelasan Sulprizio tentang burnout syndrome.
Sulprizio memberikan
saran sebagai antisipasi burnout syndrome, bahwa kita harus memiliki
kesadaran dan tidak termakan ambisi yang terlalu tinggi dan selalu
memiliki kesiapan menghadapi setiap kompetisi yang akan dihadapi.
Sumber : http://herusupanji.blogspot.com/